RIAUFAKTA.com - Beragam cara digunakan oleh peserta pemilu untuk menarik simpati pemilih agar lolos ke parlemen. Hasil pantauan ICW menunjukkan tidak sedikit pelanggaran politik uang yang terjadi pada pelaksanaan pemilu. Jenisnya beragam dari pemberian alat rumah tangga hingga pemberian jasa hiburan.
“Pemberian uang sebanyak 33, pemberian barang 66, dan pemberian jasa sebanyak 14,” kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan, di Jakarta, Senin (7/4).
Kasus-kasus tersebut paling banyak terjadi di Riau dengan 32 kasus, Sumatera Utara 18 kasus, Banten 16 kasus, Sulawesi Selatan 14 kasus, dan Jawa Barat 12 kasus.
Tidak ada satu pun dari dua belas parpol peserta pemilu yang tidak terindikasi melakukan pelanggaran politik uang. Parpol yang terbanyak melakukan pelanggaran adalah Partai Golkar dengan 33 pelangggaran, PAN 19 pelanggaran, Partai Demokrat 17 pelanggaran dan PDI Perjuangan (PDI-P) dengan 13 pelanggaran.
Bukan hanya pelanggaran politik uang, penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara juga marak terjadi pada Pemilu 2014. Adapun aktor pelaku politik uang dan penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara paling banyak berasal dari kandidat yaitu 96 pelanggaran, tim sukses 49 pelanggaran, dan aparat pemerintah 16 pelanggaran.
Dikatakan, membangun keterpilihan merupakan modus utama yang dilakukan dibalik maraknya politik uang dan penyalahgunaan fasilitas dan jabatan. Sementara, tindaklanjut dari pelaporan yang diterima pemantau seperti Bawaslu, dan Panwaslu sangat lemah.
“Pelaku masih didominasi oleh kandidat dan tim sukses. Praktik politik uang banyak dilakukan oleh kandidat untuk pencalonan DPRD Kabupaten/Kota sedangkan, tindaklanjut atas laporan pemantau oleh Bawaslu danPanwaslu masih sangat lemah,” ujarnya.
Menjelang pemilihan yang bakal digelar pada 9 April 2014, ujarnya, proses pengawasan terhadap penyelenggara pemilu di daerah harus dioptimalkan sebab, kerawananan manipulasi suara rentan terjadi di daerah-daerah yang demografisnya jauh dari kendali penyelenggara pemilu seperti daerah kepulauan.
“Ini yang menjadi titik rawan misal potensi manipulasi surat suara dari hasil pergerakan penghitungan suara juga akan terjadi di situ,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga meyakini pemilihan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) juga rentan akan manipulasi suara. Dengan begitu, Bawaslu harus melakukan pengawasan terhadap penghitungan suara di dalam LP apalagi netralitas birokrasi belum terjamin dalam perhelatan pesta demokrasi sementara akses untuk melakukan pengawasan di dalam lapas oleh masyarakat sangat terbatas.
“Oleh karena itu prioritas pengawasan penting dilakukan pada instrumen pengawasan pada titik-titik kritis yang potensi terjadi penyimpangan,” jelasnya.
Menurutnya, pada hari H proses penghitungan suara di TPS serta pergesaran surat suara dari TPS, PPS, PPK hingga ke KPU juga perlu dilakukan pengawasan yang panjang tanpa jeda. Potensi jual beli suara terjadi pada masa pergeseran tersebut.
“Lalu titik rawan yang lain adalah pascahari H, pergeseran hasil penghitungan hasil surat suara itu sendiri. Ini mengkonfirmasi di beberapa pemilu, pada 2009 dugaan manipulasi justru terjadi pada saat pergeseran surat suara. Rekap yang dilakukan di TPS bisa berubah pada tingkatan selanjutnya,” ungkapnya. ***(bsc)