RIAUFAKTA.com - Perjalanan dengan mobil berhenti di tepi sungai. Perjalanan dilanjutkan dengan sampan kayu, yang menyeberangi sungai beraliran lambat di Kepulauan Meranti, Riau. Mestinya di seberang perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Tapi sebuah sepeda motor telah siap menjemput Detik.
Siang itu perjalanan berhenti di sebuah pabrik sagu, 30 kilometer dari Kota Selat Panjang, Riau. Pabrik milik pria bernama Amir ini mengolah batang pohon rumbia menjadi tepung sagu.
Mesin di pabrik itu menggiling batangan rumbia menjadi tepung sagu yang kemudian dikeringkan lalu dikemas dalam karung bermerek “Sagu Selat Panjang Riau-Indonesia”. Dulu, kata Amir, pabriknya bisa menghasilkan 21 ton tepung sagu per hari.
“Sekarang untuk mendapatkan 7 ton saja sudah susah. Kami selalu kekurangan bahan baku,” kata Amir, yang mengandalkan tenaga 30 orang pekerja yang 90 persen berasal dari Pulau Jawa.
Pohon rumbia tumbuh secara alami di pekarangan rumah warga Kabupaten Kepulauan Meranti. Tapi bahan baku untuk pabrik-pabrik di Meranti berasal dari perkebunan warga. Total luas perkebunan rumbai di sana mencapai 54 ribu hektare. Sebanyak 60 persen perkebunan adalah milik rakyat. Sisanya milik perusahaan PT National Sago Prima.
Pasokan dari perkebunan itu kini harus dibagi-bagi kepada 60 pabrik sagu yang menyebar di sejumlah kecamatan di Meranti, termasuk pabrik milik Amir di Kecamatan Tebing Tinggi itu. Itulah yang membikin bahan baku menjadi sangat terbatas.
Padahal sagu di Meranti adalah yang terbaik di Indonesia. Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kabupaten Kepulauan Meranti, Hendra Putra, mengatakan tepung sagu Meranti sudah mendapat pengakuan pemerintah lewat uji coba pada Oktober 2013.
Saban ikut dalam Festival Pangan Sagu Nusantara, sagu dari Meranti pun selalu meraih penghargaan kualitas tepung sagu terbaik di Indonesia.
Tapi sebagian besar produksi sagu masyarakat Kepulauan Meranti dipasarkan dalam bentuk mentah ke Cirebon. Sedangkan tepung yang berkualitas lebih tinggi diekspor ke Jepang, Malaysia, Korea, dan Singapura.
Belum lagi pertanian sagu milik rakyat harus bersaing dengan pabrik-pabrik raksasa, yang awalnya dikira bakal memproduksi turunan dari tepung sagu. Ternyata pabrik itu memproduksi tepung sagu juga.
“Kalau seperti ini, sama saja kehadiran mereka akan membunuh kami pengusaha pabrik sagu dan petani kecil,” kata Amir.
Menurut Amir, andai saja pemerintah memfasilitasi produksi hilir tepung sagu, tentunya hal itu akan lebih menggerakkan perekonomian masyarakat sekitar. Sebab, tepung sagu itu bisa dijadikan makanan ringan, kosmetik, minuman dan banyak hal lainnya.
Bukan berarti masyarakat setempat tak berusaha menciptakan produk turunan sagu sendiri. Dalam skala kecil, masyarakat setempat sudah membuat mie dari sagu. Tapi produksinya tak sampai 10 persen dari produksi tepung sagu.
Dalam skala lebih kecil lagi, masyarakat membuat makanan-makanan kecil dari sagu dan menjualnya di warung-warung kecil.
Terletak di Selat Malaka, Kabupaten Kepulauan Meranti adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Kabupaten baru ini terdiri dari tiga pulau besar yakni Pulau Rangsang, Pulau Merbau, dan Tebing Tinggi.
Kawasan berpenduduk sekitar 248 ribu jiwa, yang terdiri dari etnis Melayu, Tionghoa, Bugis, Jawa, Batak dan suku tradisional yakni suku Akit, ini, sejak zaman dulu sudah dikenal sebagai kawasan pohon rumbia.
Daun rumbia biasanya dijadikan atap. Sedangkan batangnya diolah menjadi tepung sagu kalau sudah berusia enam atau tujuh tahun. Dulu, sagu adalah makanan pokok warga di sana.
Pada era Orde Baru, masyarakat cenderung menjadikan beras sebagai makanan pokok. Kini, pemerintah setempat mengajak masyarakat kembali menjadikan sagu sebagai makanan pokok. “Dan sagu menjadi andalan bisnis di sini,” kata Bupati Kepulauan Meranti, Irwan.
Dalam usia yang siap panen, nilai satu batang rumbia mencapai Rp 400 ribu. Batang rumbia sendiri tak perlu ditanam ulang, melainkan akan tumbuh anak-anaknya di sekelilingnya, seperti pohon pisang. Bila sudah siap panen, batang rumbia dipotong-potong sepanjang 80 centimeter, yang kemudian diangkut atau dihanyutkan melalui sungai ke pabrik-pabrik.
Pertanian sagu, menurut Bupati Irawan, lebih bernilai ekonomi di Meranti ketimbang padi. Soalnya, panennya bisa mencapai 12 kali setahun.***(adv/hsm/Rhc)