Komisi Pemberantasan Korupsi Menunggu Ajal

riauheadline_Komisi-Pemebarantasan-Korupsi-Menunggu-AjalJAKARTA, RIAUFAKTA.com - Kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini semakin pelik. Setelah dinyatakan tak miliki wewenang mengadakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Komjen Budi Gunawan (BG) berdasarkan putusan praperadilan, Senin (16/2/2015), jumlah pimpinan KPK yang dijerat perkara pidana bertambah.

Belum selesai perkara Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW), Ketua KPK Abraham Samad ditersangkakan dalam perkara pemalsuan dokumen oleh Polda Sulselbar. Penetapan tersangka dilakukan pada 9 Februari 2015 namun baru diumumkan 17 Februari 2015.

Perkara Samad berpeluang bertambah sebab, Bareskrim Polri juga melakukan penyidikan terhadap yang bersangkutan terkait dengan pengakuan Plt Sekjen PDI Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto. Untuk Samad dan BW pemerintah sejauh ini lepas tangan.

Dengan demikian jumlah pimpinan KPK definitif sekarang ini hanya dua orang yaitu, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja. Di tengah banyaknya perkara yang menumpuk, KPK hanya dipimpin dua komisioner, sungguh memprihatinkan.

Putusan praperadilan, disusul penetapan tersangka terhadap Samad kembali mendengungkan semangat menyelamatkan KPK secara lembaga dari oknum-oknum yang terdengar naif. Sebab, dengan dikomandoi dua komisioner otomatis KPK tak mudah bergerak. Artinya, situasi yang menimpa pimpinan ikut menimbulkan kevakuman secara lembaga.

Situasi makin rumit karena, sejumlah tenaga penyidik KPK juga dibidik dalam perkara pidana. Belum lagi RUU KPK masuk Prolgenas 2015 bersamaan RUU KUHAP/KUHP. Isu yang muncul, KPK nantinya hanya fokus pada pencegahan tindak pidana korupsi.

Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran kalau KPK sekarang ini tengah menunggu ajal. Setelah pimpinan dan pegawainya dipreteli, lembaga yang didirikan untuk memicu kinerja Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan korupsi bakal bubar jalan.

Pakar hukum Yenti Garnasih mengaku khawatir jika nantinya rentetan peristiwa yang muncul pasca kasus Komjen BG berujung pada diakhirinya catatan sejarah KPK dalam pemberantasan korupsi. Padahal, Indonesia sampai sekarang ini masih tergolong negara korup.

“Kita akan ditertawakan dunia kalau KPK dilumpuhkan, karena korupsi kita masih tinggi dan tren dunia adalah adanya lembaga semacam KPK untuk memberantas korupsi,” kata Yenti, Selasa (17/2).

Menurutnya, yang bisa menyelamatkan KPK secara lembaga sekarang ini adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ironisnya, presiden akhir-akhir ini terlihat gamang. Tidak tegas.

Selain mengombang-ambingkan nasib KPK, Jokowi juga belum mengambil sikap terhadap status Komjen BG apakah bakal dilantik sebagai Kapolri, atau sebaliknya.

Dengan begitu presiden juga berperan menimbulkan rentetan konflik dalam penegakan hukum pada awal kepemimpinannya.

“Presiden seperti gamang, sehingga rakyat atau masyarakat jadi ikut bingung dan kecewa juga was-was. Bayang-bayang pesta pora pemilihan dan pelantikan presiden yang hingar-bingar jadi seperti mimpi dan kita jadi bertanya-tanya apakah iring-iringan presiden setelah dilantik itu benar terjadi apa hanya mimpi ? kok harapan yang begitu besar untuk kemajuan Indonesia jadi seperti sekarang,” ujarnya.

Pakar hukum Frans Hendra Winarta juga mengungkapkan hal serupa. Presiden Jokowi diminta bersikap tegas, tidak kalut menghadapi tekanan-tekanan partai politik untuk menyelamatkan KPK.

Jika presiden percaya kepada badan antikorupsi itu dengan memfilter calon-calon anggota kabinetnya melalui KPK, harusnya presiden sudah mengambil tindakan sekarang ini.

“Presiden mempercayai KPK dengan memintanya menganalisa calon menteri. Apa masih percaya dengan KPK sekarang ? Semua terserah kepada beliau. Rakyat menunggu ketegasan dan argumentasinya, gunakan hak prerogatif presiden jangan ragu-ragu. Suara mana yang lebih dipercayainya itu hak presiden asalkan dia bicara dan memutus dari hati nuraninya bukan atas tekanan dan pesanan,” kata Frans.

 

Sumber: Suara Pembaruan

Tanggapan

Komentar

Tags: