HUKRIM, RIAUFAKTA.com - Kantor Penghubung Komisi Yudisial (KY) Perwakilan Riau, akan melakukan investigasi terkait putusan atau vonis bebas Neni Sanitra SH MH, oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, dalam kasus atau perkara pemalsuan akta. Investigasi itu akan dilakukan setelah KY menerima adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat.
“Sebenarnya kami selalu melakukan pemantauan terhadap adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim manapun termasuk di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Mengenai vonis bebas Neni, pejabat notaris, kami (KY-red) masih menunggu adanya laporan maupun pengaduan masyarakat atau yang dirugikan, ” ujar Ketua Kantor Penghubung Komisi KY Perwakilan Riau, Hotman Parulian SH, saat dihubungi baru-baru ini.
Hotman menyebut, jika dalam investigasi ditemukan adanya indikasi pelanggaran kode etik, pihaknya Kantor Penghubung KY Perwakilan Riau, akan menindaklanjutinya.
“Jadi kalau memang ada indikasi perilaku hakim memvonis bebas perkara, kita akan tindak lanjuti dan menelusuri,” katanya.
Hingga kini, lanjut Hotman, KY belum menerima adanya laporan ataupun pengaduan dari masyarakat terkait hal itu.
“Namun jika ada pihak yang dirugikan disarankan untuk melaporkan ke KY, dan akan ditelaah. Sementara terkait putusannya, KY tidak berwewenang,” ujarnya.
Notaris Neni divonis tak bersalah oleh Majelis Hakim PN Pekanbaru, beberapa waktu lalu di persidangan PN Pekanbaru. Kasus ini berawal ketika PT Bonita Indah (BI) dengan Direkturnya Daniel Freddy Sinambela mengikuti tender jasa penyediaan kendaraan (mobil) tanpa jasa pengemudi di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Syarat untuk ikut proyek pengadaan ini, Daniel harus memiliki modal Rp5 miliar.
Namun karena keterbatasan modal, Daniel pun mencari pemodal lain agar tetap dapat mengikuti lelang tersebut. Dia lalu mengajak 2 pengusaha yakni Bonar Saragih dan Mangapul Hutahaean untuk menjadi pemodal.
Ketiga pungusaha ini lalu membuat kesepakatan dalam Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 149 dan 150 tanggal 30 Maret 2014 di Kantor Notaris dan PPAT Neni Sanitra, hingga akhirnya PT BI pun menang dalam lelang tersebut.
Setelah lelang dimenangkan, Bonar berselisih dengan Daniel. Akibatnya, Bonar menarik uang Rp 5 miliar secara sepihak. Tak terima, Daniel pun mengutus kuasa hukumnya untuk meminta print draft akta perjanjian yang belum diperbaiki. Tentu Nedi menolaknya, karena yang diminta draft yang salah, padahal sudah ada salinan yang benar hasil revisi.
Setahun kemudian, Daniel merasa, isi perjanjian yang dijadikan Bonar saat menggugatnya dalam perkara perdata (wan prestasi), tak sama dengan isi perjanjian semula ketika sama-sama menghadap Notaris Neni.
Dalam kasus tersebut, Bonar memenangkan sidang perdata itu. Kalah dalam sidang perdata, giliran notaris Neni Sanitra yang dilaporkan Daniel di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru dengan tuduhan pemalsuan akta karena menghapus, menindih dan mengganti dengan yang lain terhadap Pasal 4, 6, 7, 8 dan 9, pada Akta Perjanjian nomor 149 tanggal 30 Maret 2011. Notaris senior ini pun dituntut 2 tahun penjara.
Namun di persidangan terungkap ada fakta baru, di mana secara tidak sengaja JPU memperlihatkan adanya salinan yang diklaim dikeluarkan kantor Notaris dan PPAT Neni Sanitra ternyata stempelnya menggunakan notaris Victor Simanjutak.
Majelis Hakim PN Pekanbaru menyatakan notaris Neni Sanitra tidak terbukti melanggar hukum atau lepas dari segala tuntuan hukum (Onstlag van Rechtsvervolging). ***(Fly)