Pengakuan Tentara Israel: Diperintah Bantai Warga Sipil Gaza

Sersan Shai Davidovich | Sumber foto: The Independent

RIAUFAKTA.com - Kekejaman tentara Israel terhadap rakyat Palestina dalam serbuan ke Jalur Gaza yang dilancarkan sejak awal Juli lalu menggugah memori Shai Davidovich.

Mantan tentara Israel ini mengenang masa-masa di mana dia diperintahkan untuk membantai warga sipil Palestina dengan peralatan tempur super cangih.

“Berita itu membawa saya kembali ke masa saat kami berada di sana dan kami mendapat perintah untuk menembakkan artileri setiap jam lima sore,” tutur Davidovich dikutip Dream dari The Independent, Kamis (7/8/2014) lalu.

Dua tahun silam, kala tentara Zionis Israel menggempur kelompok Hamas di Gaza dengan operasi Pillar of Cloud, Davidovich menjadi intelijen lapangan.

Saat itulah, pria yang saat ini menjadi direktur pendidikan untuk mantan tentara Israel-Breaking the Silence, berkali-kali diperintah atasannya untuk membantu menyiapkan altileri yang akan menembakkah peluru-peluru ke kawasan padat penduduk di Beit Hanoun.

Namun, saat itu dia berfikir itu merupakan perintah ‘gila’, karena menggunakan artileri untuk menghancurkan daerah berpenduduk sipil.

“Kami telah menyiapkanya saat itu, tetapi pada akhirnya itu tidak terjadi. Kami melihat anak-anak bermain di Beit Hanoun. Dengan teropong, kami melihat banyak warga sipil, tapi saya tidak ingat bahwa ada yang pernah berbicara tentang penduduk sipil. Saya berpikir, bagaimana Anda dapat menembak tanpa mengorbankan warga sipil?, ” ujarnya.

Pria 27 tahun itu menambahkan, penggunaan artileri untuk wilayah padat penduduk tidaklah tepat. Penggunaan artileri untuk ditembakkan ke permukiman padat penduduk merupakan perbuatan tidak bermoral.

“Kami dilatih (menggunakan artileri) di tempat terbuka,” kata Davidovich.

Kenangan Davidovich ini tergambar dalam pembantaian skala besar penduduk Gaza oleh Israel saat ini. Dia sangat menentang, meski Israel beralasan perang tersebut untuk membela diri, dengan segala tuduhan kepada Hamas, mulai serangan roket yang menyebabkan kematian warga sipil hingga isu terowongan yang digunakan untuk penyusupan.

“Setiap perang di mana penduduk sipil yang dirugikan dalam skala besar tidak bisa disebut bermoral. Israel memiliki hak untuk membela diri, tapi tidak seperti ini,” ujar dia.

Breaking the Silence adalah wadah bagi mantan tentara zionis untuk mencerahkan publik Israel tentang kegiatan tentara negaranya di Tepi Barat dan Gaza.

Karena khawatir korban sipil di Gaza terus meningkat, kelompok ini mengumpulkan kesaksian dari tentara yang bertugas dalam operasi Israel sebelumnya di wilayah tersebut. Mereka membuat kesaksian untuk menentang pembantaian yang sedang terjadi saat ini.

Salah satu rekan Davidovich, sekaligus pendiri Breaking the Silence, Yehuda Shaul, mengatakan semua operasi terbaru Israel sudah tidak memperhatikan moral.

“Tingkat kerusakan dan jumlah korban tewas dari warga sipil semakin memburuk,” katanya.

Shaul sangat tidak setuju dengan penggunaan artileri untuk mengebom rumah keluarga orang-orang Hamas. Meskipun Israel menuduh rumah-rumah itu dijadikan markas komando Hamas. Menurut dia, tuduhan itu hanya dalih Israel agar serangan mereka dianggap sah.

“Salah satu kebohongan terbesar dari setiap operasi bahwa kita melakukan segala sesuatu untuk menghindari korban sipil,” tambah Shaul.

Bila menggunakan artileri di tempat seperti Gaza, tidak bisa dikatakan bahwa tentara Israel mengambil tindakan dengan hati-hati.

Breaking the Silence memandang kesaksian-kesaksian dari para mantan tentara Israel yang terlibat dalam operasi di masa lalu sebagai cara tepat untuk memahami kekejaman Israel pada masa kini.

Namun, para petinggi tentara Israel percaya kelompok ini merupakan sekumpulan orang tua yang mempermalukan institusinya di saat situasi yang sensitif.

Kolonel Shaul Shay, mantan wakil kepala Dewan Keamanan Nasional Israel mengatakan bahwa tentara terus menjaga dan akan terus menegakkan standar moral yang tinggi dalam semua operasi di Gaza.

“Pendekatan Hamas adalah dengan menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia dan berperang melawan penduduk sipil Israel. Tentara sangat mematuhi aturan berperang untuk meminimalkan korban sipil. Semakin Hamas sering meluncurkan roket dari rumah sipil dan membangun terowongan untuk menyerang, semakin banyak tentara dipaksa untuk melawan di sana dan di sinilah korban sipil berjatuhan,” jelas Shay.

Dia mengatakan langkah-langkah untuk memperingatkan warga sipil meninggalkan rumah mereka saat tentara Israel menyerang tidak pernah dilakukan oleh Amerika Serikat atau Inggris.

“Breaking the Silence tidak punya kapasitas di sini. Saya merasa sedih bahwa orang Israel membuat klaim seperti itu di saat seperti ini. Klaim tersebut justru menjadi alat propaganda dan perang psikologis musuh,” tandas Shy. ***(Dream)

Tanggapan

Komentar

Tags: